Setelah TikTok Shop Tutup (bagian 1)

Ada sedih, ada tangis. Ada pula senang dan ria. Kontra dan pro menyambut keputusan pemerintah melarang aktivitas TikTok Shop di media online. 

Apakah kebijakan ini akan berdampak kepada kembali meriahnya perdagangan di pusat-pusat grosir seperti Tanah Abang? Kita lihat ke depan.

Yang jelas prinsipnya, seperti yang disebut Presiden Joko Widodo, teknologi harus berguna. Memajukan mereka yang berbisnis digital, dan tidak mengurangi para pebisnis konvensional atau tradisional.

Era digital memang tidak terelakkan. Ada dan akan terus berkembang. Berbagai keuntungan ada di sana. Tetapi di balik itu juga ada kerugian. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan secara bijaksana dan tetap menjaga kesamarataan.

Kendati demikian, kita juga tidak bisa menafikan kehadiran era modern. Agar menjadi bagian dari dunia yang serba berteknologi ini, maka suka tidak suka kita harus menjadi bagian darinya.

Shopee, Tokopedia, Lazada hingga TikTok Shop adalah produk dari industri teknologi digital. Mereka para founder-nya membangun platform untuk “mengumpulkan” seluruh stakeholder di dalamnya. Ratusan juta orang dan lembaga yang merupakan produsen, penjual dan konsumen ada di sana.

Oleh karena itu ketika cara-cara seperti penjualan secara live digelar sebagai sebuah fitur maka yang harus kita pahami masing-masing platform ini sedang melakukan cara menghubungkan antar stakeholder secara lebih cepat dan efisien.

Buktinya, para penjual yang tadinya ada di Shopee atau Tokopedia akhirnya ambil bagian juga di ekosistem TikTok. Karena dianggap fitur Shop-nya lebih mempercepat penjualan. Dan dengan cara yang tidak ribet serta arus transaksi dan pembayaran yang lebih cepat.

Bagi pebisnis cara ini memperlancar arus modal mereka menjadi keuntungan. Kendati juga ada perang harga dan banting-bantingan diskon, sebuah cara yang banyak dilakukan di era saat ini untuk menggaet lebih banyak konsumen. Istilahnya bakar-bakaran modal.

Maka berdagang di platform marketplace atau e-commerce sesungguhnya ada kompetisi di dalamnya. Persaingan sangat ketat ketika faktor harga digunakan sebagai jurus. Ada yang sukses dan tentu ada yang tidak. Kita jangan mudah terpedaya oleh kisah sukses afiliator atau penjual yang meraup puluhan atau hingga ratusan juta rupiah dalam sekejap.

Segala cara akhirnya dilakukan agar banjir keuntungan. Bahkan sekalipun harus mengorbankan waktu, misalnya setelah subuh cuap-cuap lagi di depan smartphone. Atau rela sampai malam berdiri bersama puluhan afiliator lain di ruang publik. Itula perjuangan berbisnis.

Pertanyaannya kemudian, jika kemudian platform tersebut atau salah satu fturnya ditutup atau dilarang oleh pemerintah, lantas bagaimana?

Bagaimana “lapak” Anda di Shopee atau Tokopedia atau TikTok akan trus hidup, jika suatu saat terjadi sesuatu? Selama ini Anda diberi kemudahan berjualan, lalu ke mana lagi akan berjualan secara online?

Bisnis apapun bentuknya dan bagaimana pun jalan dan jualannya tetap harus memiliki “rumah”. Rumah sendiri yang ia dijadikan sebagai toko sendiri atau bahkan gudang sendiri.

Lapak-lapak Anda di platform marketplace sesungguhnya hanyalah sebuah etalase. Benar, di sana Anda bisa berjualan sebebas dan sebanyak mungkin. Seperti halnya di dunia konvensional, Anda punya kios atau booth di sebuah mal yang sangat ramai pengunjung. Apa yang terjadi jika mal tersebut terbakar habis? Atau ditutup gara-gara melakukan aktivitas terlarang?

Anda tidak bisa berjualan, karena Anda tidak memiliki rumah atau toko sendiri. Padahal Anda sudah capek membangun produk menjadi sebuah brand di mal tersebut.

Adidas, Nike, Levi’s, McD, KFC dan banyak lagi brand memang datang dengan bisnis yang diawali dari sebuah shop sendiri. Mereka ambil bagian membangun booth atau mini resto di mal yang punya potensi pengunjung tinggi. Namun ketika mal tersebut tutup, brand mereka tidak mati. Produk-produk mereka masih dapat ditemui di main shop dan bahkan lebih banyak pilihan yang ditawarkan di toko sendiri.

Apakah Anda harus memiliki rumah atau toko sendiri seperti nama-nama di atas?

Tentu saja  jawabannya, 100 persen wajib punya.

Masalahnya, berapa investasi yang harus dikeluarkan untuk memiliki toko sendiri?

(Simak ulasannya di narasi saya berikutnya)

Salam Solidaritas!

Imam Fatoni Effendi

Foto: insertlive

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*