Ulang Tahun Jessica Wongso

Hari ini, 9 Oktober, Jessica Wongso terpidana kasus kopi sianida berulangtahun. Usia 35 tahun. Atau tujuh tahun umur dia mendekam di hotel prodeo.

Tak terbayangkan di hari ultahnya itu ia dikadoi hadiah berupa pro dan kontra tentang peristiwa yang ia akui tak pernah ia lakukan. Kejadian yang telah menyeretnya jauh ke pusara kriminal paling rendah yaitu hukuman kelas berat.

Pro dan kontra itu meletus kembali. Dimulai dari media film berupa genre dokumentasi yang mengkonstruksi kembali serpihan-serpihan peristiwa Mirna-Jessica.

Media film tidak selalu menyajikan satu pesan seragam. Seperti yang terjadi pada film-film action, di mana yang jahat harus dilindas oleh para jagoan. Juga film-film propaganda semacam Pengkhianatan G30S/PKI. Sebuah film bisa multitafsir, minimal dua tafsir yang setuju dan tidak setuju.

Begitupun film-film dokumenter. Sebab meskipun bahan film diambil dari obyek-obyek asli dan orisinal dari rangkaian peristiwa, film jenis ini tetap memiliki plot dan pesan.

Film Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso memperlihatkan dua tafsir. Pro dan kontra. Atau mudahnya, yang setuju dan tidak setuju bahwa Jessica lah yang pembunuh. Dan harap diingat, ada dua pihak di dalam proses kreatif dan distribusi tersebut, yakni tim produksi dan distrubusi. Keduanya berbeda kelompok dan tidak saling berhubungan, kecuali bisnis.

Tim produksi adalah Beach House Pictures dan tim distribusi adalah Netflix. Netflix yang memiliki hak siar atas perjanjian eksklusif tersebut. Sehingga dalam hal konten bisa jadi Netflix menganggap bahwa seluruh konteks dalam isi film tersebut sudah benar. Seperti halnya bisokop-bioskop di Indonesia saja saat seluruh film telah lolos LSF, maka studio sinema di seluruh Indonesia dapat menayangkan.

Sehingga wajar saja bila perdebatan antara pro dan kontra itu muncul. Karena masing-masing kubu memiliki pemahaman dan sudut pandangnya sendiri. Perspektif muncul oleh pemahaman pada setiap adegan dan babak yang dilontarkan dalam film.

Sekali lagi harus dipahami, film adalah media. Dalam perspektif edukasi, film-film seperti Ice Cold … itu mengajak kemampuan analisis manusia digunakan dalam memahami setiap bagian.  Film dapat membantu mengerti sebuah peristiwa yang dulu mungkin hanya dapat dipahami secara sepotong-sepotong. Atau dulu terlanjur tergiring pada satu sudut tertentu.

Tujuh tahun silam saat peristiwa tewasnya Mirna Salihin dalam proses penyelidikan hingga persidangan penonton harus sabar mengikuti. Tidak sedikit yang pesimis dan malas meneruskan. Karena itu ketika muncul stigma kuat pada proses tersebut seperti “kopi sianida”, maka orang gampang tergiring pada pemahaman tentang tercampurnya kopi dengan sianida. Masyarakat yang lelah dengan mudah cenderung mengikuti sehingga umumnya pada satu kesimpulan tertentu.

Pada film dengan durasi yang jauh lebih pendek, seluruh rangkaian dijahit kembali. Disusun menjadi lebih pendek. Karena itu pada film dokumenter seperti ini jarang ditemui yang menggiring pada satu konklusi. Biasanya malah digantung, diserahkan kepada penonton untuk menafsir dan menyimpulkan.

Apakah lalu boleh ada yang terkaget dan melontarkan kesimpulan; jangan-jangan bukan Jessica pembunuhnya?

Boleh saja, jika mereka memandang ada hal yang menurutnya tidak masuk akal, ganjil dan secara hukum ada celah.

Ini sama halnya dengan pihak beseberang yang mengatakan bahwa seluruh fakta di film sudah jelas dan tidak terbantah. Karena mereka memandang seluruh argumentasi yang membawa kepada putusan hakim adalah benar.

Kita tidak perlu menyalahkan Netflix atau tim pembuat film. Kecuali jika ada data dan fakta yang diubah, diganti atau disalahgunakan. Itu berarti ada manipulasi kenyataan. Maka, silakan dibawa ke jalur hukum.

Sementara bila rangkaian atau plotnya tidak menyenangkan satu pihak, kita harus tetap menghargai proses kreatif yang mereka buat dalam proses pembuatan story line sebuah film. Selama tidak ada pemalsuan, atau pemutarbalikan, film tersebut punya hak untuk ditonton.

Di hari ulang tahun Jessica, ia dikadoi orang-orang yang sedang berseteru tentang peristiwa itu kembali. Hanya saja kelihatannya masyarakat pro dan kontra seimbang, ketimbang dulu saat menjelang ia divonis. (*)

Salam Solidaritas!

Imam Fatoni Effendi

Foto: cineverse

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*