Oh Cilacap

Dunia pendidikan Indonesia murung. Sekali lagi kisah perundungan pelajar menguak. Di kalangan SMP. Seakan cerita bullying tidak pernah berhenti di sekolah-sekolah. Terus terjadi bahkan melingkupi seluruh jenjang pendidikan.

Peristiwa yang meledak dan membuat Cilacap masuk sebagai keywords tinggi di berbagai media sosial dan SEO Google jadi perbincangan dunia. UNESCO sebagai lembaga PBB pun terhenyak dan menyesalkan terjadinya perundungan ini.

Dunia pendidikan dengan segala misinya dipertanyakan. Pengelolaan sumberdaya manusia di lembaga-lembaga pendidikan rupanya banyak mengalami persoalan. Alih-alih menguatkan kemampuan peserta didik dengan program-program mutakhir. Dari sisi mental dan moral ada banyak masalah yang dihadapi oleh mereka.

Dari berbagai kajian tentang pendidikan di seluruh dunia, yang terlihat umumnya lebih membicarakan tentang kualitas lembaga pendidikan. Kualitas yang baik mencerminkan keunggulan lembaga dalam mengelola dan menghasilkan output lulusannya yang sesuai dengan situasi zaman.

Tetapi sering pula kita lupa bahwa pendidikan sering dimaknai sebagai medium kebutuhan manusia untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Pendidikan ternyata lebih luas lagi maknanya.

Mari simak apa yang digagas oleh bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara. Menurutnya pendidikan bukan hanya tentang pemberian pengetahuan akademis semata, tetapi juga melibatkan pengembangan kepribadian dan karakter individu.

Ki Hajar Dewantara mengatakan pendidikan haruslah holistik. Di mana mencakup aspek fisik, intelektual, emosional, dan spiritual. Empat aspek ini adalah karakter. Sehingga pendidikan mestinya menciptakan karakter manusia.

Dan karakter itulah yang membedakan output dunia pendidikan dari berbagai negara. Bukan sekadar kemampuan kognitif dan akademisi atau juga keahlian dan kemampuan pada satu bidang tertentu.

Karena itu peristiwa Cilacap adalah salah satu bentuk kegagalan dari proses membentuk karakter yang diimpikan Ki Hajar Dewantara. Yang tampak kemudian adalah brutalisme, premanisme, juga sifat menguasai kepada sesama. Rangkaian karakter yang sama sekali negatif dan jauh dari kepribadian manusia unggul.

Agaknya memang ada yang tidak sinkron antara tiga pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan. Yakni orang tua, lembaga pendidikan dan pemerintah dalalm hal ini Dinas Pendidikan setempat. Pengawasan kepada siswa hanyalah soal teknis.

Namun yang sedang terjadi adalah tidak terjadinya pendidikan emosional dalam proses pembinaan karakter. Bahkan mungkin bila ditelusuri lebih mendalam, juga terjadi persoalan pada spiritual dan intelektual. Terutama pada diri pelaku.

Dalam berbagai peristiwa terjadinya bullying, pelaku dapat diduga memiliki masalah pada dirinya yang bisa terjadi karena dampak dari lingkungannya. Ia tidak muncul sendiri. Ada faktor pemicu dari luar.

Kombinasi dari berbagai faktor negatif yang menekan pelaku perundungan kian menguatkan dirinya melakukan penguasaan. Jika ia tidak mendapatkan tempat di lingkungan tinggal, maka ia mewujudkannya di lingkungan lain. Dalam hal ini sekolah. Dalam konteks Cilacap (dan pada kasus-kasus serupa) pengakuan pada kekuasaan ini berupa tindakan pemukulan, penghajaran, dan kekerasan lain kepada orang-orang yang dianggap tidak sependapat.

Tidak dapat dibiarkan. Tidak cukup dengan pengawasan total. Pembinaan karakter mestinya ditinjau ulang. Jangan-jangan hanya konseptual belaka. (*)

Salam Solidaritas!

Imam Fatoni Effendi

Foto: skitchen

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*