Menata Kota Event

Tasikmalaya minggu silam heboh. Konser musik dan keriaan bertajuk Break Day Out (mengingatkan pada festival musik di Australia bernama “Big Day Out”) yang batal digelar. Padahal penggelar acara mengaku sudah mendapat izin keramaian dari Polres.

Gigi sudah datang. Endank Soekamti band Yogya juga hadir. RAN yang dari Jakarta pun siap manggung. Panitia bilang beberapa UMKM partisipan juga siap dagang. Terpaksa semua dibongkar. Parkiran Plaza Asia di tengah kota pun tak jadi heboh-hebohan.

Tidak terjadi huru-hara. Tetapi seru ramai di media sosial. Yang pro dan kontra. Beberapa hari kemudian muncul alasan. Pemkot dan Polres tak mau ada kisruh antara panitia dan acaranya dengan warga sekitar.

Tidak mudah menggelar acara di tengah kota yang multidimensi. Ada warga, ada pebisnis, ada pedagang, ada macam-macam orang di sana. Apa lagi acara yang mengundang keramaian di lokasi padat penduduk.

Tapi kita dapat banyak pelajaran dari peristiwa ini.

Beberapa konser musik di kota-kota besar memang sudah jarang digelar di pusat keramaian. Di Jakarta konser outdoor dilangsungkan di lapangan yang jauh dari pemukiman dan berjarak dengan pusat kumpul orang. Seperti di Senayan yang ada beberapa pilihan. Bisa di Parkir Timur atau sekalian di dalam GOR. Keduanya memerlukan pengelolaan yang berbeda.

Ada pilihan lokasi di Jakarta International Expo. Ini lebih memungkinkan karena tak ada mal dekat situ. Jauh dari perumahan.

Soundrenaline, salah satu festival musik Indonesia juga sudah lebih digelar tidak di pusat kota. Sama seperti festival-festival di luar negeri, umumnya dilangsungkan di lapangan luas yang jauh ke sana-ke mari. Big Day Out yang “ngider” di beberapa kota di Australia pun sama. Apalagi seperti festival legendaris macam Woodstock di Amerika.

Pilihan lokasi memang penting. Tetapi jauh lebih penting menjaga efek yang mungkin ditimbulkannya.

Wacana menjadikan Tasikmalaya sebagai “kota event” harus diacungi jempol. Artinya ada semangat baru, gagasan segar untuk mengembangkan sumber daya dan potensi kota. Sebagaimana Jember Fashion Festival, Festival Bunga Tomohon, Festival Bunga dan Buah Karo, dan munculnya identitas kota yang baru bertajuk event.

Festival-festival ini muncul karena melibatkan semua unsur kota. Pemerintah, lembaga swadaya, pemimpin informal juga ulama, serta masyarakat. Sehingga segala aspek ditinjau dan dipikirkan agar sebuah acara memberi manfaat daripada mudarat.

Festival tentu tidak melulu single event. Sebuah kota event bisa memiliki beragam jenis event atau multievent. Dan lagi, sebuah event tidak lah harus ditandai dengan melibatkan massa yang besar, yang ramai, yang menghebohkan.

Di Ubud ada agenda rutin yang menginternasional. Namanya Ubud Writers and Readers Festival. Peserta dan partisipannya tak hanya penulis dan pembaca, tapi juga awam yang ingin mencari tahu tentang budaya literasi (menulis dan membaca). Festival ini tentu “sunyi” dan banyak diskusi, tetapi viralnya sampai ke luar negeri.

Kalau masih ingat Cannes Festival di Prancis, ini bicara tentang film. Mulanya film independen, kemudian film komersial ambil bagian. Konon, film Hollywood bermutu harus tes pasar dulu di Cannes sebelum dilempar ke bioskop.

Keberagaman festival bisa jadi pilihan. Kita bisa petakan apa saja unsur-unsur yang mendukung Tasikmalaya sebagai sebuah kota event. Selanjutnya menentukan bagaimana dan kapan menempatkan event demi event sesuai dengan tren dan waktu (festive season).

Membangun kota event juga akan melibatkan akademisi yang ada di Tasikmalaya. Keterlibatan akademisi untuk melakukan kajian-kajian di atas. Di sisi lain, keragaman event tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai laboratorium langsung mengelola sebuah event bagi mahasiswa dan pelajar.

Nah, jangan-jangan Tasikmalaya justru cenderung menggelar marathon sebagaimana Magelang dengan Borobudur Marathon-nya? (*)

Salam Solidaritas

Imam Fatoni Effendi

Foto: lintaside

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*