Cara Bicara

Jagad media sosial sedang ramai. Pro dan kontra. Tentang ujaran, ucapan, cara bicara. Gaya bicara di dunia maya yang menimbulkan tafsir negatif. Review makanan yang berbuntut pada delik hukum.

Sang food vlogger diragukan keahlian dan kemampuannya bicara tentang kualitas makanan. Cara bertutur yang keras, tajam, langsung, apa adanya dianggap oleh sebagian netizen sebagai menghancurkan citra obyek review.

Pembelaan pun datang. Muncul dari pereview lain yang pro. Namun situasi kemudian berubah menjadi “perang udara”. Hujat-menghujat di media maya.

Sampai pada titik salah satu pihak merasa dirusak nama baiknya. Ia pun melapor peristiwa tersebut ke ranah hukum.

Media sosial telah kehilangan kepekaan dan kesatunan dalam berbahasa. Di sisi lain cara-cara yang dilakukan para creator content tersebut juga telah mengabaikan proses interaksi normatif.

Padahal kita memiliki adat kesantunan dalam tata cara berbicara. Di berbagai daerah rasanya memiliki norma. Seperti sejatinya bangsa Indonesia yang menjunjung adab. Di Sunda dikenal dengan “Unduk Usuk Basa” yang dalam memaknainya adalah tatakrama berbicara.

Unduk usuk basa sangat relevan dalam konteks persoalan kesantunan berbahasa dan pengabaian hubungan antarmanusia. Sistem penggunaan undak usuk basa bahkan berkaitan dengan peran orang yang berbicara, yang diajak bicara dan materi yang dbicarakan.

Undak usuk baca setidaknya mengandung enam pelajaran. Di antaranya “handap asor” atau merendah. Bukan merendahkan diri. Merendah yang dimaksud adalah memberikan penghormatan kepada yang diajak bicara. Mengurangi pujian pada diri-sendiri.

Kemudian “pancocog” atau kecocokan penggunaan bahasa. Yang artinya penutur juga harus mau menjadi pendengar. Menjadi pendengar untuk memahami bahasa apa yang digunakan agar cocok.

“Katumarima” merupakan pelajaran berikutnya atau menerima. Maknanya adalah menerima tuturan dari lawan bicara. Bisa berbicara langsung, atau berbicara dengan audience. Termasuk berbicara di ranah media sosial. 

Selanjutnya “kawicaksanaan” atau kebijaksanaan. Berbicara membutuhkan kebijaksanaan dalam berpikir. Kebijaksanaan membawa pada kemudahan dalam menyampaikan bahasa. Karena itu melontarkan tuturan mestinya dibarengi kebijaksanaan.

Berbahasa juga berlandaskan “kasimpatian” atau bersimpati. Berbicara memahami pikiran dan perasaan lawan bicara. Mengenal situasi, susah, sedih, gembira, riang. Cara ini dapat mengeliminasi antipati. Bahkan bisa mengubah situasi.

Unduk usuk basa juga mengandung “balabah” alias pemurah. Berbicara tanpa dilandasi oleh kecongkakan. Tidak memaksakan kehendak karena gaya bicara Anda yang lugas itu lebih baik dan harus dapat dipahami oleh lawan bicara. Budaya unduk usuk basa mengeliminir ego.

Pada ruang media sosial sama saja meskipun Anda sedang berbicara di depan kamera. Kamera itu merekam setiap perkataan yang kemudian disebarkan kepada massa. Ada tanggungjawab sosial yang secara otomatis Anda pegang.

Jadi tidak, maka orang bisa bicara seenak udel dan meminta orang lain memahami cara Anda berbicara. Ini berbahaya. Dan bukan tidak mungkin meledak menjad konflik. Seperti yang terjadi sekarang. (*)

Salam Solidaritas!

Imam Fatoni Effendi

Foto: skitchen

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*